Fomo Penyakit Takut Menjadi Yang Terbelakang


Fomo adalah singkatan dari "fear of missing out" atau kalau diterjemahkan kurang lebih artinya adalah takut ketinggalan. Sindrom ini banyak menyerang kaum milenial karena sebagian milenilal menghabiskan banyak waktu crolling feeds social media yang bukannya memberi manfaat malah memperparah "anxiety" atau rasa cemas berlebihan dalam diri mereka. Mengapa saya tertarik membahas Fomo? Jawabannya karena saya mengidapnya selama bertahun-tahun tanpa sadar. Karena cukup mengganggu, saya banyak-banyak membaca artikel pemulihan jiwa, membaca buku-buku psikologi yang memperkenalkan saya pada beberapa istilah termasuk Fomo.Tapi sebelum saya membahas fomo lebih lanjut saya ingin mengutip penggalan pengakuan Fumio Sasaki penulis buku "Goodbye Things". Fumio adalah seorang minimalis ekstrim yang tinggal di apartemen kecil di Tokyo dengan tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki, dan sedikit benda-benda lainnya. Sebelum menjadi minimalis saya yakin Fumio adalah pengidap Fomo, sama seperti saya. Saya menarik kesimpulan itu dari pengakuan-pengakuan dalam bukunya antara lain :

" Sementara itu saya masih membandingkan diri dengan orang lain. Ada teman yang tinggal di kondodium mewah. Dia bekerja di perusahaan besar, memiliki gaji yang lebih layak, sudah menikahi kekasihnya yang luar biasa cantik, dan memiliki bayi lucu yang mengenakan pakaian modis. Ketika di kampus dulu kami tidak jauh berbeda. Apa yang terjadi mengapa hidup kami menjadi begitu berbeda?"

"Di kesempatan lain saya melihat ferrari dengan atap yang bisa dibuka tutup tengah melaju. Dengan konyol saya mentap ferrari itu berlalu dari pandangan sambil satu kaki bertahan di atas pedal sepeda yang saya beli seharga 5000 yen (sekitar 640ribu rupiah) dari seorang teman."

"Seiring terus bertambahnya barang di apartemen, ruang hunian saya semakin sempit, dan sayapun mulai kewalahan. Energi saya habis untuk benda mati, dan saya terus merasa bersalah karena tidak mampu memanfaatkan benda-benda itu dengan baik. Tapi, meski sudah mempunyai begitu banyak barang, saya tak kunjung berhenti meiliki benda lain. Tetap saja saya tidak sanggup membuang apa-apa. Yang terjadi adalah saya terjebak dalam lingkaran setan membenci diri sendiri."

Sebagai tambahan informasi, sebelum menjadi minimalis Fumio mengoleksi banyak buku, CD original, alat-alat photografi agar menadapat pengakuan di komunitasnya dan tidak ketinggalan mengikuti tren. Tapi salahnya, Fumio tidak bertanya dulu pada dirinya sendiri apakah dia benar-benar butuh benda-benda tersebut. Itulah yang membuat saya menarik kesimpulan bahwa Fumio mengidap Fomo.
Dalam konteks yang berbeda, sayapun mengidap Fomo selama bertahun-tahun tanpa saya sadari dan tanpa tahu fomo berpotensi menjadi penyakit mental yang serius. Bagaimana sindrom fomo yang saya miliki? Intinya saya cemas berlebih karena terang-terangan teman-teman saya sudah memiliki karir yang lebih cemerlang dan tiap hari makan di restoran mahal. Sementara waktu itu saya sedang menganggur dan baru saja mengakhiri hubungan yang saya pikir serius sampai-sampai saya tidak ambil pusing soal pekerjaan. Teman saya menikah, adik kelas saya sudah belajar magister di Belanda, teman dekat saya menggeluti hobi menari dengan sungguh-sungguh dan sepertinya tak terusik apapun termasuk intervensi dari orangtuanya. Sementara saya? Waktu itu saya berumur 25 tahun tidak menyisahkan sedikitpun pesangon dan tabungan dari pekerjaan saya sebelumnya. Waktu itu saya diajak ketemuan teman kuliah di mall dan karena ingin menyembunyikan ketidakmampuan, saya merengek ke Ibu  untuk membeli baju, sekaligus tas baru. Baju-baju lama saya anggap sudah ketinggalan zaman. Saya khawatir teman yang saya temui pernah melihat saya memakai baju yang sama bertahun-tahun lalu. Saya takut dikira ketinggalan zaman, saya takut terlihat bodoh, saya takut terlihat tak mampu. Saya takut ini itu. Tapi pada intinya saya takut menjadi diri saya sendiri. Tidak rasional kan? Tidak apa-apa, di sini saya ingin jujur, karena jujur pada diri sendiri adalah langkah awal utuk sembuh dari fomo.
Nah, itulah fomo, dan bagaimana fomo mempengaruhi mental kita. Tentunya kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain bisa meresahkan diri sendiri dan seperti yang saya bilang dapat menimbulkan penyakit mental yang serius.

Apakah kamu mulai curiga jangan-jangan aku punya sindrom fomo?
Saya disini tidak ingin membahas tanda-tanda seseorang mengidap fomo, tapi sebenarnya setiap manusia punya fomo dalam skala yang berbeda. Kalau kadar fomo mengganggu, butuh penanganan yang cepat. Bisa dengan membaca jurnal atau konsultasi langsung ke ahlinya (psikolog)

Social media punya andil besar
Apa sih tujuan kita mempunyai media sosial? Sebatas agar kita tetap terkoneksi dengan teman-teman lama? Ternyata tidak. Setuju atau tidak , tapi kenyataannya sebagian besar orang (mungkin saya salah satunya) secara tidak sadar telah menjadikan sosial media sebagai wadah untuk memamerkan apa-apa, entah itu prestasi, entah itu benda-benda yang kita miliki dan apapun itu. Mungkin kita tidak bertujuan untuk pamer tapi di luar pengetahuan kita, ada beberapa orang yang cemburu.
Di sisi lain, social medialah yang terus menerus memberi tahu saya tentang progres hidup teman saya dalam karir dan kehidupannya. Saya tidak ambil pusing dengan teman-teman saya yang nganggur juga dan tiap hari cuma mengunggah foto kucing. Yang jadi masalah dan menganggu buat saya adalah teman-teman yang punya karir bagus, punya suami kaya, dan teman yang sangat mencintai hobinya. Sosial media yang memperparah fomo saya. Tapi untungnya saya cepat-capat sadar kalau ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Lantas apakah social media sejelek itu?  Tidak juga. Sama seperti pisau. Pisau kalau digunakan untuk memotong bahan makanan atau untuk memahat patung artinya pisau punya manfaat yang bagus, tapi kalau pisau digunakan untuk membunuh lain lagi ceritanya. Sama seperti sosial media, semua tergantung dari cara kita menggunakannya. Sosial media pernah membantu saya mengisi survey dan menjual puluhan tas viroteks.

Fomo berasal dari kurangnya pengenalan akan diri kita sendiri
Teman saya yang mencintai hobinya tadi seumuran dengan saya, belum menikah juga, belum punya pacar dan tidak terusik apapun. Buatnya hidup itu adalah menari. Ketika kami SMA dia lebih gemuk dari saya dan sekarang badannya seperti anak belasan tahun dan masih memakai baju-baju dari zaman SMP (ini diakui sendiri tanpa malu-malu) tapi sama sekali tidak terlihat ketinggalan zaman. Dia tidak tahu menahu banyak hal termasuk update dunia teknologi. Dia tidak punya banyak teman dan lagi-lagi itu bukan masalah. Baju-bajunya juga tidak banyak dan selalu dipakai berulang-ulang, tasnya dibeli di pedagang loakan dan satu hal, dia disukai banyak cowok. Tidak punya barang-barang mahal tidak membuatnya tak menarik.
Bodohnya, saya sempat berpikir begini, saya ingin seperti dia, saya mau menekuni dunia tari dan tidak ambil pusing dengan baju-baju saya. Diam-diam saya latihan zumba dan aerobik dan hasilnya lumayan karena sebenarnya saya sedikit suka menari tapi tidak tertarik menggelutinya. Dan teman saya inilah yang membuat saya sadar kalau saya tidak terlahir untuk mencintai dunia tari menurutnya saya harus cari tahu apa hobi saya yang tidak pernah membuat saya bosan.
"Bukannya waktu kuliah kamu wara wiri kemana-mana karena jurnalistik?" teman saya yang hobi menari bertanya.
Saya terhenyak sejenak. Singkatnya sejak itu saya mulai menemukan titik terang. Yang ingin disampaikan teman saya adalah konsep mengenal diri sendiri. Apa kelebihan kita apa kekurangan kita. Kelebihan tentunya harus dikembangkan, kekurangan yang bisa diubah diusahakan untuk diubah dan kekurangan yang tak bisa diubah harus diterima sebagaimanapun memalukannya. Sampai hari ini saya masih berusaha mengenali diri saya sendiri dan untungnya tidak membuat saya bosan melakukannya.
Metode yang pernah saya baca tentang terapi mengenal diri sendiri adalah menulis jurnal pribadi. Ucapkan terima kasih pada diri sendiri atas progres baik yang kamu lakukan dalam satu hari, satu minggu atau satu bulan terakhir. Metode ini sangat membantu untuk lebih mengenal diri sendiri dan mengembangkan potensi. Katakan hal-hal baik untuk diri sendiri untuk menciptakan inner peace.

Waktu Itu Terbatas Tapi Hal-Hal Menarik Itu Tidak Terbatas
Saya ketawa sendiri membaca diary saya. Tahun lalu atasan saya melakukan perjalanan dinas yang lumayan lama. Tidak ada pekerjaan yang buru-buru diselesaikan. Saya berencana minggu itu saya mau belajar tentang SEO blog, mendownload lagu-lagu baru, menonton film-film yang menarik, dan masih banyak kemuluk-mulukan yang rencananya ingin saya lakukan di sela jam kerja. Tapi yang terjadi adalah : ketika saya membuka salah satu web untuk menonton film saya menghabiskan berjam-jam hanya untuk memilih film apa yang ingin saya tonton. Akhirnya saya memilih 1 film tapi beberapa menit setelah menonton saya merasa filmnya kurang menarik lalu saya ganti lagi dengan film lain begitu terus sampai saya memutuskan mengerjakan pekerjaan lain tapi tidak selesai sampai jam pulang. Hari itu saya tidak menyelesaikan apa-apa karena tidak fokus pada salah satu yang menarik. Rasanya tidak ada yang beres dan saya ini orang yang payah. Hal ini membuat saya sadar kalau zaman sekarang kita harus punya kemampuan memilih dan fokus pada satu pilihan karena waktu dan energi kita terbatas. Kembali lagi ini adalah terapi untuk penyakit fomo.
Tidak semua hal menarik harus kita lakoni demi menarik atensi orang lain karena waktu kita terbatas. Aku bilang sama diriku sendiri, sudalah Reski, walaupun berjuta orang di dunia ini suka film Korea kalau kamu tidak begitu suka mengapa dipaksakan? Kalau buat orang lain jalan-jalan adalah kegiatan yang memboroskan uang tapi kalau kamu suka kenapa harus hitung-hitungan?
Saya sepenuhnya sadar perkembangan teknologi mempengaruhi penurunan minat baca yang drastis, saya tidak akan mendapat banyak atensi untuk tulisan saya yang panjang dan lebar. Tapi selama saya suka dan dapat menjadi terapi mengapa tidak? Dunia blogging tak semenjanjikan vlogging tapi selama saya nyaman menjadi blogger kenapa saya harus meninggalkannya? Diri dan ketertarikan kita butuh banyak-banyak perhatian dari diri kita sendiri.
Kembali lagi waktu kita terbatas dan kita dituntut untuk pintar-pintar memilih bagaimana dan dengan siapa kita menghabiskan waktu. Kita tidak bisa menjadi ini dan itu sebaiknya kita terus belajar untuk menjadi diri sendiri dan terus bertanya apa yang diri kita inginkan bukan apa yang orang lain inginkan dari kita.

Fomo Akan Sembuh Kalau Kamu Bisa Meletakkan "Self Worth" Kamu dengan Benar
Self Worth itu bukan harga diri. Walaupun kalau diterjemahkan kata per kata jatuhnya yah harga diri. Harga diri itu pride dan "self worth" itu yah "self worth". Mungkin kurang lebih bicara kualitas tapi saya tidak bisa menemukan kata Bahasa Indonesia yang pas untuk "Self Worth". Kebanyakan orang meletakkan self worth nya di orang lain lagi-lagi saya mungkin juga begitu, tapi saya sedang berproses untuk berubah sedikit demi sedikit dan harapan saya perubahan ini bisa total. Apa yang terjadi ketika seseorang meletakkan "Self Worth" nya di orang lain. Yang terjadi adalah kondisi emosinya sangat bergantung pada orang lain. Misalnya ketika dia mendapat sikap yang rama, merasa penting untuk diterima dan mendapat pengakuan saat itulah kita merasa berharga. Itu artinya kita masih meletakkan "Self Worth" kita pada orang lain. Ketika orang lain rama, ketika kita diterima dan diakui memang bagus dan menyenangkan tapi kalau kita kecewa karena tidak mendapat hal-hal seperti itu di situ letak kesalahannya.
Artinya diri kita masih diintervensi hal-hal dari luar yang sama sekali tidak bisa kita kendalikan. Mungkin saya, kita bagusnya belajar meletakkan "Self Worth" bukan di orang lain tapi di diri kita sendiri. Kembali lagi ke konsep pengenalan akan diri sendiri. Bertanyalah pada diri sendiri, apa yang kamu suka dan tidak pernah membuat kamu bosan? Apa yang wajib aku lakukan dan apa yang tidak mesti aku lakukan? Apa yang penting dan apa yang tidak penting? Diriku berharga karena aku satu-satunya di dunia ini dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Aku harus sering-sering berterima kasih pada diriku sendiri atas perubahan-perubahan baik yang aku lakukan. Aku harus banyak-banyak meladeni keinginan terdalam diriku sendiri.
Katanya nih, kalau kita sudah benar-benar mengenal diri kita sendiri akar kita akan kuat dan kita tidak akan muda diintervensi oleh keadaan apapun yang terjadi di luar.

So, Apa kamu juga merasa mengidap fomo? Yuk sama-sama melakukan terapi. Saya yakin masih banyak metode untuk sembuh dari fomo. Kalau kalian tahu satu metode silahkan kasih tau aku dan orang lain yang mengalami fomo.









Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel