Naskah Ditolak GPU

Katanya (karena belum pernah melihat survey yang mendukung opini ini) industri percetakan atau penerbit meredup setelah era digitalisasi. Peluang untuk jadi penulis fiksi semakin sempit apalagi di Indonesia yang dianggap memiliki minat baca rendah dibanding negara lain. Katanya, milenial jarang yang baca buku-buku tebal karena mereka hidup di zaman yang membuat pikiran mereka terbagi-bagi saking banyaknya pilihan. Baca buku 500 halaman? Mending gue main game sambil baca whatsapp satu per satu trus memantau perkembangan di group a-z. ada ajakan dari teman untuk nongkrong di Cafe Nowhere, interiornya bagus buat foto-foto demi konten instagram. Lumayan untuk menaikkan harga diri di dunia maya.
Huffff!!
Getir hati para penulis tanah air menyikapi fenomena yang demikian. Pasarnya makin menyempit. Apalagi kalau bicara royalti. Hampir gigit jari deh. SAYA BUKAN PENULIS, tapi saya pernah menulis naskah yang ditolak oleh penerbit tershohor Tanah Air, Gramedia Pustaka Utama. Saya sadar kalau kondisi industri percetakan tengah meredup saat mengirim hard copy naskah, 18 Mei 2017. Peluang untuk menembus penerbit besar sekelas Gramedia seperti mimpi tapi yang berharga buat saya adalah pengalamannya. Kan, Its better to try and fail than to never know and always wonder- lebih baik mencoba dan gagal daripada tidak pernah tahu dan selalu penasaran. 

Naskah saya berjudul biji hingga moka. Saya ingin menganalogikan tokoh utama sekaligus narator dalam naskah saya dengan biji kopi. Namanya Matari Jemimah dan dia masih SMP. Yatim Piatu dan mencari jati diri dengan bertualang mencari jejak mendiang kedua orang tuanya bersama sahabatnya, Sisilia Tan. Biji kopi tidak akan mengeluarkan aroma harum tanpa serangkaian proses pemanasan. Setelah itu biji kopi akan digiling di mesin pembuat kopi. Tapi setelah si biji hancur lebur seperti itu dia akan bertemu dengan senyawanya, coklat dan susu dalam satu gelas. Lalu barista bisa melukis objek yang cantik di permukaan cangkir itu. Ya kira-kira begitulah selayang pandang naskah saya. Silahkan diduga-duga kira-kira jalan ceritanya seperti apa.
Jadi cerita ditolaknya naskah saya itu seperti ini,
Pada bulan April 2017 saya mengirim hard copy naskah ke sahabat saya yang tinggal dekat Gedung Gramedia. Saya mau teman saya langsung bertemu editor senior, GPU, Mbak Hetih Rusli agar saya yakin naskah sampai dengan selamat. Ketika sudah sampai di gedung gramedia saya ditelpon teman saya tadi sambil memberikan tlp ke Mbak Hetih Rusli yang mengkonfirmasi kalau naskah saya sudah diterima. Momen yang agak-agak wow sih....mengingat ada ribuan pengirim naskah yang butuh berbulan-bulan agar naskahnya bisa sampai ke tangan Editor Senior. Tak tik saya berhasil.
"Pantengin email yah. Kira-kira 2 bulan lagi kami kasih kabar!" Kata Mbak Hetih Rusli
Dua bulan berlalu tak ada kabar hingga minggu awal November 2017, saya ditelpon seorang Cowok bersuara bagus (padahal tidak nyanyi cuma bicara). Pokoknya suaranya memikatlah. Sayang cuma tlp, coba video call (🤣🤣🤣🤣)
Mas bersuara bagus ini (sudah hampir 2 tahun jadi saya lupa namanya) memperkenalkan diri sebagai salah satu staf editor GPU dan saya diminta merevisi naskah, dengan catatan, penerbit tidak menjanjikan lebih mengingat naskah saya masuk dalam kuadran C (Penulis belum dikenal naskah lumayan). Saya bersyukur karena tidak masuk Kuadran D (Penulis belum dikenal naskah kurang bagus). Berhubung minggu kedua November saya mendapat pengumuman kalau saya diterima nguli di salah satu instansi pemerintah, pikiran saya fokus mengurus berkas dan dokumen lainnya. Belum lagi saya diharuskan untuk pindah ke Jakarta selama setahun. Merevisi naskah terbaikan bahkan terlupakan. 
Bulan januari 2018 saya menerima email penolakan dari Gramedia Pustaka Utama yang isinya agak menohok seperti ini,
Begitulah pengalaman saya ditolak Gramedia Pustaka Utama. Belum berpikir untuk menulis naskah lagi berhubung saat menulis Biji Hingga Moka saya berstatus pengangguran dengan waktu sengganng melimpah ruah. 
Buat yang hobi menulis cerita dan punya banyak waktu luang saya sarankan untuk terus menulis. Sekarang tersedia wadah untuk menulis secara online seperti Wattpad dan GWP. Siapapun bisa menulis sekaligus mengetahui miant pasar terhadap naskahnya. Karena semakin banyak dikomentari dan dilihat maka naskah akan semakin populer . Tak jarang penerbit melirik naskah-naskah populer di kedua website di atas.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel